Jumat, 01 Mei 2015

Peringatan Integrasi Papua

Tanggal Bersejarah - Keabsahan 1 Mei 1963 sebagai "Hari Integrasi", senantiasa oleh sebagian besar rakyat Papua dipandang sebagai "Hari Aneksasi" Indonesia atas Tanah Papua.

Ini disebabkan bahwa orang-orang Papua sendiri sejak 15 Agustus 1962, tidak pernah dihargai dan dihormati hak asasinya sebagai salah satu komunitas masyarakat di dunia dan bukan merupakan subjek yang ikut menentukan nasibnya sendiri.

Adapun Pepera tahun 1969 sesungguhnya memiliki nilai minus yang sudah semestinya segera dijadikan bahan kajian dan diskursus dalam berbagai kesempatan secara terbuka di alam demokrasi Indonesia, guna memperoleh kesepakatan yang damai, demikian dikatakan peraih penghargaan Internasional di Bidang HAM, "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada, Yan Christian Warinussy kepada, Kamis (30/4) pagi.

"Ini saya sampaikan karena atas dasar "keabsahan" Pepera 1969 yang masih terus dipersoalkan serta 1 Mei 1963 yang dipandang oleh rakyat Papua sebagai "Hari Aneksasi, maka lahirlah slogan NKRI Harga Mati yang senantiasa dijadikan sebagai 'alat' ampuh bagi aparat keamanan baik TNI dan Polri, untuk terus menerus melakukan berbagai tindak kekerasan yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun hingga dewasa ini," ujar Yan.

Oleh sebab itu, seharusnya slogan 'NKRI Harga Mati' dan 'Merdeka Harga Mati' di pihak lain, tidak ditonjolkan oleh kedua belah pihak, baik rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia, termasuk TNI dan Polri.

Kata dia, sangat mendesak saat ini untuk mendudukkan persoalan proses peralihan kekuasaan atas Tanah dan rakyat Papua dari sejarah New York Agreement 1962, eksistensi 1 Mei 1963 dan Pepera 1969 sebagai tonggak-tonggak penting yang patut dikaji secara baik menurut prinsip-prinsip hukum, demokrasi dan hak asasi manusia yang berlaku universal bahkan sudah diadopsi pula oleh Pemerintah Indonesia di dalam aturan perundangan yang berlaku saat ini.

"Dalam konteks otsus di Tanah Papua, sebenarnya telah ada peluang di dalam pasal 46 untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), guna menjalankan tugas dalam konteks mengupayakan berlangsungnya proses klarifikasi sejarah Integrasi Papua tersebut," ujar Yan.

Namun demikian menurut Yan, karena hal ini sudah menjadi sebuah aspirasi politik mayoritas rakyat Papua, maka adalah sangat tepat jika hal ini perlu dibicarakan secara terbuka, arif, bijaksana dan imparsial serta saling menghormati dalam sebuah dialog damai.

Ini penting, kata Yan, agar kelak hasil dari dialog damai tersebut menjadi sebuah kesepakatan bersama diantara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia dalam merumuskan langkah-langkah penyelesaian konflik sosial-politik tersebut secara damai, demokratis dan berkesinambungan.

Kesepakatan tersebut sesuai amanat pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (burgerlijk Wetboek/BW) bahwa, "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya"

"Dengan demikian kesepakatan yang dicapai dalam sebuah dialog damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia kelak akan menjadi hukum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar dalam menentukan segenap langkah penyelesaian hukum dan politik atas segenap konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun diatas Tanah Papua."ujarnya.

Sementara Sekertaris Jenderal Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM) Jenderal Anton Obet Tabuni, menegaskan, akan melaksanakan upacara dengan menaikan bendera Bintak Kejora di markasnya, Tingginambut, Puncak Jaya.

"Kami akan melaksanakan upacara sebagai bentuk bahwa kami menuntut kemerdekaan dan kedaulatan," ujarnya, Kamis pagi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar